Kamis, 27 Juni 2013

Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas

Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (2)
Tauhid yang diseru Nabi ini adalah arti perkataan Anda: Lailaha Illallah, karena Ilâh (tuhan) menurut mereka adalah apa yang mereka tuju baik dari para malaikat, nabi, wali, pohon, kuburan, atau jin. Mereka tidak bermaksud bahwa Ilâh itu adalah pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam semesta, karena mereka mengetahui bahwa ketiga-tiganya milik Allah saja sebagaimana telah saya sebutkan tadi. Akan tetapi Ilâh/tuhan yang dimaksudkan oleh mereka adalah sosok yang oleh kaum Musyrikin di masa kami disebut dengan kata Sayyid.
_____________________
Catatan 5:
Dalam paragraf ini terdapat pengafiran yang terang-terangan terhadap kaum Muslimin yang hidup di masa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb. Sebab istilah Sayyid yang secara harfiyah beratikan tuan telah digunakan kaum Muslimin di sepanjang sejarah Islam sebagai sebutan/gelar bagi seorang dari keturunan/Ahlulbait Nabi saw. dan tidak sedikit umum kaum Muslimin memakainya untuk seorang shaleh yang diyakini akan keberkahanya, ia memberikan doa untuk keberkahan, kesembuhan atau keselamatan dll. Dan menggunakan kata Sayyid untuk arti di atas tidak sediktipun mengandung kemusyrikan atau kekafiran, bahkan tidak makruh apalagi haram hukumnya!
Hadis yang menyebut adanya larangan menggunakan kata tersebut untuk selain Allah SWT. masih diperdebatkan kesahihannya. Bahkan terbutki bahwa Khalifah Umar bin al Khaththab berkata:
أبوبكر سيِّدُنَا أعتَقَ بِلاَلا سيِّدَنَا
“Abu Bakar Sayyid kami telah memerdekakan sayyid kami Bilal.”
Lebih dari itu Al Qur’an juga telah menggunakan kata tersebut untuk seorang Rasul utusan-Nya. Allah SWT berfriman:
فَنادَتْهُ الْمَلائِكَةُ وَ هُوَ قائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَ سَيِّداً وَ حَصُوراً وَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحينَ
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan salat di mihrab (katanya): ”Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, dan menjadi sayyidan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang- orang saleh.” (QS. Âlu ‘Imrân [3]; 39)
Ketika menafsirkan kata سَيِّداً dalam ayat di atas, Ibnu Katsir mengutip berbagai komentar para mufassir Salaf yang semuanya mengarah kepada makna adanya kemulian dan keistimewaan di sisi Allah SWT.
Mujahid dan lainnya berkata, “Sayyidan maknanya karîm, mulia di sisi Allah –Azza wa Jalla-” [1]
Dan dalam sepenjang penggunaannya oleh kaum Muslimin, kata Sayyid tidak pernah dipergunakan untuk makna yang menyalai kemurnian Tauhid dan penghambaan. Kata itu dipergunakan kaum Muslimin untuk seseorang yang diyakini memiliki kedudukan dan keistimewaan di sisi Allah SWT. dengannya ia diisitimewakan dari orang lain dan karena kedudukan dan keistimewaannya itu maka permohonannya untuk seorang yang menjadikannya perantara dalam pengabulan doa dan permohonan diperkenankan Allah SWT. Jadi apa yang diyakin kaum Muslimin adalah apa yang telah ditetapka Allah SWT.
Adapun kaum Wahhâbiyah, mereka menafikan kedudukan yang ditetapkan Allah SWT untuk hamba-hamba pilihan-Nya dan menisbahkan kepada kaum Muslimin sesuatu yang tidak mereka yakini, dan kemudian menyebut kaum Muslimin dengan sebutan kaum Musyrikin. Apa yang mereka lakukan mirip dengan apa yang dilakukan kaum kafir yang menentang Allah dan Rasul-Nya kemudian menisbahkan kepada para Rasul dan pengikut setia mereka apa-apa yang tidak mereka yakini dan mereka perbuat!
Dan tidak ada larangan dalam penggunaan kata sayyid seperti juga kata rab untuk selain Allah SWT selama ia dipergunakan dalam arti yang tidak menyalai kemurnian penghambaan dan Tauhid. Dan tentunya perlu diyakini bahwa tidak seorang pun dari kaum Muslimin yang mengunakannya untuk makna yang menyalai kemurnian penghambaan.
Tidak Semua Kaum Musyrik Mengakui Allah Sebagai Khaliq.
Kemudian adalah tidak berdasar ucapan Syeikh bahwa kaum Musyrikun di zaman Nabi saw. seluruhnya telah mengatahui bahwa “Allah-lah Dzat Maha Pencipta, Maha Pemberi rizki dan Maha pengatur alam semesta” sebab yang mengetahuinya hanya sebagian dari mereka saja, sementara sebagian lainnya adalah kaum dahriyyûn, yang tidak percaya akan ketiga prinsip itu dan tidak mempercayai adanya hari kebangkitan.
Allah SWT berfirman menceritakan mereka:
وَ قالُوا ما هِيَ إِلاَّ حَياتُنَا الدُّنْيا نَمُوتُ وَ نَحْيا وَ ما يُهْلِكُنا إِلاَّ الدَّهْرُ وَ ما لَهُمْ بِذلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ.
“Dan mereka berkata:” Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali- kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga- duga saja.”(QS.al Jâtsiyah [45] :24

Selasa, 25 Juni 2013

Doktrin Salafi Wahabi

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (1)
Sekilas Tentang Kitab Kasyfu asy-Sybubuhat
Kitab Kasyfu asy-Sybubuhat adalah karya Syeikh Muhammad ibn Abdi Wahhâb yang ia tulis untuk mendektekan “hujjah-hujjah dan bukti-bukti” dan menjelaskan inti pikiran ajarannya. Kitab ini menjadi rujukan utama sekte Wahhabiyah dalam menanamkan doktrin ajarannya, ia tersebar dengan luas di kalangan para santri, pelajar, mahasiswa dan kaum awam Wahhabi sekalipun. Kemasyhuran kitab tersebut tidak kalah dengan kemasyhuran kitab at Tauhid karyanya.
Kitab tersebut, baik terjemahan maupun aslinya telah menyebar di tanah air nusantara yang kita cintai.
Kitab Kasyfu asy-Sybubuhat
Kitab Kasyfu asy-Sybubuhât adalah sarat dengan doktrin pengafiran atas kaum Muslimin selain kelompok Wahhabi (yang tunduk menerima ajakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb). Ia telah mengkategorikan banyak hal yang bukan syirik ke dalam daftar kesyirikan! Dan atas dasar itu ia mengafirkann dan menvonis musyrik selain kelompoknya.
Dalam buku kecil itu, Ibnu Abdil Wahhâb telah menyebut umat Islam, seluruh umat Islam, baik awam maupun ulamanya dari berbagai mazhab dan golongan selain kelompoknya dengan sebutan musyrikan tidak kurang dari dua puluh empat kali. Sementara itu, lebih dari dua puluh lima kali ia menyebut kaum Muslimin dengan sebutan:
Kafir,
Para penyembah berhala-berhala,
Orang-orang munafikun,
Orang-orang murtad,
Para penentang Tauhid,
Musuh-musuh Tauhid,
Musuh-musuh Allah,
Orang-orang yang mengaku-ngaku Islam secara palsu,
Pengemban kebatilan,
Orang-orang yang dalam hati mereka terdapat kecendurngan kepada kebatilan,
Kaum jahil,
Setan-setan,
Dan sesungguhnya orang-orang bodoh dari kalangan kaum kafir dan para penyembah berhala-berhala lebih pandai dari mereka …
Dan kata-kata keji lainnya.
Sebuah kenyataan yang membuat kitab tersebut sebagai kitab Pedoman Doktrin Takfîr paling berbahaya dan sekaligus sebagai saksi nyata bahwa ajaran Wahhâbiyah ditegakkan di atas pondasi pengafiran yang sulit dielak oleh para pengikutnya sekarang!
Dan untuk melihat dari dekat kitab tersebut, maka kami tertarik untuk menerjemahkannya dengan disertai catatan yang akan membantu pembaca mengenal dengan baik pikiran inti Pendiri Setke Wahhâbiyah dan sekaligus akan menggaris-bawai beberapa kekeliruannya.
Naskah yang kami terjemahkan adalah terbitan Dâr al-Kutub al-Ilmiah Beirut - Lebanon dengan disertai syarah Syeikh Ibnu Utsaimin dan dicetak bersama kitab al-Ushûl as -Sittah juga karya Ibnu Ibdil Wahhâb. Tebal halaman berikut syarh-nya adalah 83.
Di bawah ini mari kita ikuti terjemahan dan catatan komentar atasnya…
Selamat membaca..!
Berkata Ibnu Abdil Wahhab –pendiri sekte Wahhâbiyah- dalam kitabnya Kasyfu asy Syubuhât
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Ketahuilah wahai yang ingin dirahmati oleh Allah Swt, sesungguhnya tauhid adalah mengesakan Allah dengan ibadah. Di mana hal tersebut merupakan agama dan tuntunan duta-duta Allah untuk para hamba-Nya; dimulai oleh nabi Nuh a.s. yang diutus kepada kaumnya ketika mereka telah melampaui batas (gluluw) orang-orang yang saleh; Wudda, Suwa’a, Yaghuts, Ya’uq dan Nasra.
_______________
Catatan: 1
Awal pembicaraan di atas adalah benar, akan tetapi bagian akhirnya tidak berdasar. Tidak semetinya berpanjang-panjang dalam menjelaskan masalah yang telah diketahui dan disepakati semua umat Islam, bahwa para nabi saw. diutus untuk mengajarkan konsep Tauhid yaitu mengesakan Allah SWT dalam penyembahan dan meninggalkan penyembahan selain-Nya. Nabi Nuh as. diutus kepada kaum yang menyembah arca-arca dan berhala-berhala dan bukan sekedar ber-ghuluw (berlebihan) terhadap para shalîhîn seperti yang dikatakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb. Secara bahasa kata ghuluw artinya sikap melampaui batas, kata ini dapat memiliki konotasi yang luas dan dapat diseret kepada makna yang disalah-gunakan. Benar, terkadang sikap ghuluw itu mencapai puncaknya yaitu kekafiran, walaupun itu jarang… mencium tangan seorang shaleh atau wali dan ber-tabarruk terhadap kaum shâlîhîn dalam pandangan Ibnu Abdil Wahhâb termasuk sikap guluw… akan tetapi semua itu tidak benar dikategorikan sebagai syirik!
Sepertinya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb hendak mengesankan kepada kita bahwa ajakannya adalah kelanjutan dari ajakan para Nabi as. Atau ia ingin membangun opini bahwa para Nabi dan Rasul as. itu tidak diutus oleh Allah SWT kecuali kepada kaum yang berg-huluw kepada kaum shâlîhîn semata! Atau bahwa kesalahan terbesar yang menjerumuskan mereka ke dalam lembah kemusyrikan hanyalah berghuluw kepada kaum shâlîhîn! Seperti yang ia tegaskan dalam kitab at Tauhid-nya dengan menulis sebuah bab dengan judul, “Bab bukti-bukti yang datang bahwa sebab yang membawa bani Adam kepada kekufuran dan meninggalkan agama mereka adalah ghuluw terhadap. kaum shâlîhîn.” (Syarah Ibnu Utsaimin atas Kasyfu asy-Syubuhât:15).
Ini semua tidak benar dan tidak berdasar, sebab pada kenyataannya mereka menyekutukan Allah dan menyembah berhala-berhala. Dan ini sudah cukup untuk menjadi alasan kemusyrikan mereka. Sementara itu, lawan-lawan ajakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb yang membantah alasan-alasannya dan yang ia kafirkn serta ia perangi adalah kaum Muslimin yang mengesakan Allah dan tidak menyembah selain-Nya, akan tetapi mereka berkeyakinan bahwa ber-tabarruk dengan para shâlîhîn, yang sementara ini divonis syirik olehnya. Karenanya, Syeikh banyak mengulang poin ini dalam banyak kesempatan.
Makna Ibadah
Seperti telah diketahui bersama bahwa tidaklah semua bentuk pengagungan dan ketundukan dapat diketegorikan sebagai ibadah (penyembahan/penghambaan). Jadi mengagungkan terhadap seorang Nabi misalnya, atau seorang wali atau ulama atau mengagungkan kuburan mereka dengan bentuk pengagungan tertentu atau ber-tabarruk dengan mereka tidak serta-merta disebut sebagai menyembah mereka dan atau kuburan mereka, atau menyamakannya dengan menyembah berhala dan karenanya divonis musyrik/kafir.
Memuji Kebaikan Kaum Musyrikin!
Seperti telah disinggung bahwa lawan-lawan yang dikafirkan dan diperangi Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb adalah kaum Muslimin yang menegakkan shalat, menjalankan puasa dan haji, oleh sebab itu ia mesti perlu membubarkan tanda tanya yang terus-menerus membayangi pengikutnya bahwa mereka itu benar-benar telah musyrik agar para pengikutnya itu tetap bersemangat mengafirkan dan kemudian memerangi mereka. Dari sini dapat dimengerti rahasia mengapa ia berlebih-lebihan dalam menekankan hal itu, seperti tampak dari kata-katanya di atas. Dan dari sini pula dapat dimengerti mengapa Syeikh begitu bersemangat memaparkan mahâsin (sisi baik) kaum kafir Quraisy, pengikut Musailamah al-Kadzdzâb dan kaum munafikin di zaman Nabi saw. Dalam banyak kali Syeikh mengunggulkan mereka atas kaum Muslimin; baik ulama maupun awamnya! Semua itu ia lakukan dengan maksud mengajukan bukti bahwa orang-orang yang ia perangi adalah orang-orang yang secara kualitas di bawah kaum kafir Quraisy dan kaum munafikin serta pengikut Musailamah al-Kadzdzâb!
Ini jelas salah besar, sebab ia hanya memaparkan sisi baik (jika kita terima anggapannya bahwa itu adalah kebaikan) kaum Musyrikun dan sengaja melupakan keburukan mereka. Sementara itu, ketika memaparkan kondisi kaum Muslimin yang sedang ia bandingkan dengan kaum kafir itu ia lupakan sisi-sisi positif yang ada dan hanya berfokus pada sisi negatif saja! Seperti akan disebutkan nanti.



2
2


 

Tentang Maulid ?

Pernyataan Abdullah Bin Baz bahwa memperingati
Maulid Nabi Muhammad saw adalah bid’ah.
Segala puji bagi Allah dan semoga shalawat
beriringan salam senantiasa tercurah untuk
meniti kesempurnaan iman 45
Rasulullah, keluarga, para sahabatnya dan untuk
seluruh orang yang mengikuti petunjuknya.
Banyak sekali orang yang bertanya tentang
hukum memperingati Maulid Nabi Saw dan berdiri
bersama ketika peringatan berlangsung serta
memberi salam kepada Nabi Saw dan hal lainnya
yang dilakukan orang – orang pada peringatan
tersebut.
Jawabannya: Tidak boleh memperingati hari
maulid Nabi saw dan maulid siapapun, karena hal
itu merupakan bid’ah yang diada – adakan dalam
agama. Rasulullah Saw, Khulafaurrasyidin dan para
Sahabat, begitu pula para tabi’in yang berada pada
kurun terbaik tidak pernah melakukannya.
Padahal mereka adalah orang yang paling
mengerti dengan sunnah dan orang yang paling
sempurna cintanya kepada Rasulullah Saw serta
paling konsisten dalam mengikuti syari’atnya
disbanding dengan orang–orang yang datang
setelah mereka.
Nabi Saw bersabda:“Barangsiapa yang
mengada – adakan dalam urusan agama kami
tanpa dasarnya maka hal itu akan ditolak (tidak
diterima)”.
46 meniti kesempurnaan iman
Dalam hadits lain beliau bersabda:
“Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku
dan sunnah para Khulafaurrasyidin yang telah
mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah
dengannya dan hindarilah oleh kamu sekalian hal–
hal yang diada–adakan dalam agama, sesungguhnya
setiap hal yang diada–adakan itu adalah bid’ah
dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.
Dua hadits ini merupakan peringatan yang
keras kepada kita agar tidak mengada – ada bid’ah
dan mengamalkannya.
Allah Ta’ala berfirman di dalam Al Quran:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah” (Qs. Al Hasr: 7).
“Maka hendaklah orang – orang yang
menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (Qs. An
Nur: 63).
“ S e s u n g g u h n y a t e l a h a d a p a d a ( d i r i )
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah” (Qs. Al Ahzab: 21).
meniti kesempurnaan iman 47
“Orang – orang yang terdahulu lagi yang
pertama – tama (masuk Islam) di antara orang
– orang Muhajirin dan Anshar dan orang – orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga – surga
yang mengalir sungai – sungai di dalamnya,
mereka kekal di dalamnya selama – lamanya. Itulah
kemenangan yang besar”. (Qs. At Taubah: 100).
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-
Ku untukmu, dan telah Aku ridha Islam sebagai
agama bagimu” (Qs. Al Maidah: 3). Dan banyak
lagi ayat – ayat lain yang semakna dengan ini.
De n g a n me n g a d a – a d a k a n s ema c am
peringatan maulid, terkesan bahwa Allah Ta’ala
belum menyempurnakan agama untuk umat ini
dan Rasulullah Saw belum menyampaikan semua
yang patut diamalkan oleh mereka maka generasi
terakhir mengada – ada dalam agama sesuatu
yang tidak diizinkan oleh Allah dengan keyakinan
bahwa hal tersebut bisa mnedekatkan mereka
kepada Allah. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini
sangat berbahaya dan merupakan pembangkangan
48 meniti kesempurnaan iman
kepada Allah dan Rasul-Nya, karena Allah telah
menyempurnakan agama ini untuk para hamba-
Nya untuk mereka. Begitu pula Rasulullah Saw
telah menyampaikan risalahnya dengan sempurna.
Tidak ada satupun jalan yang membawa umat
ke surga, dan yang menjauhkan mereka dari api
neraka kecuali Rasulullah Saw telah terangkan
kepada mereka.
Di dalam hadits yang shahih dari Abdullah
bin Amr radiyallahu anhum, Rasulullah Saw
bersabda:
“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi
melainkan diwajibkan atasnya agar menunjukkan
umatnya kepada semua kebaikan yang diketahuinya
untuk mereka dan mengingatkan mereka (agar
menghindari) semua keburukan yang diketahuinya
bagi mereka” (HR. Muslim).
Telah dimaklumi bahwa Nabi kita Muhammad
Saw adalah Nabi terakhir dan yang paling mulia
serta Nabi yang paling sempurna nasehat dan
risalahnya.
Jikalau peringatan maulid ini termasuk ajaran
agama yang diridhai Allah Swt maka Rasulullah
Saw pasti menyampaikannya kepada umat atau
meniti kesempurnaan iman 49
melakukannya semasa hidupnya atau dilakukan
oleh para sahabat. Namun tidak ada satupun hal
tersebut yang terjadi. Ini berarti dalam ajaran
Islam dan merupakan hal yang diada – adakan
yang mana Rasulullah Saw telah mengingatkan
umat agar menghindarinya, sebagaimana telah
disebutkan pada dua hadits yang lalu dan hadits
– hadits lain yang semakna dengan itu, seperti
sabda Rasulullah Saw ketika khutbah Jum’at.
“Selanjutnya: Sesungguhnya sebaik – baik
perkataan adalah Al Quran, sebaik – baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad Saw, sejelek – jelek
perkara adalah hal – hal yang diada – adakan di
dalam agama (bid’ah), setiap bid’ah itu adalah
sesat” (HR. Muslim).
Sejumlah ulama secara tegas mengingkari dan
melarang peringatan maulid, berdasarkan kepada
dalil – dalil di atas dan dalil – dalil lainnya.
Sebagian ulama dari kalangan mutaakhirin
membolehkannya selama tidak mengandung hal
– hal yang munkar, seperti berlebihan dalam pujian
– pujian kepada Rasulullah, campur baur antara
laki – laki dan wanita, menggunakan alat – alat
musik dan hal – hal lain yang tidak dibolehkan
50 meniti kesempurnaan iman
oleh syara’. Mereka menganggap hal itu merupakan
bid’ah hasanah.
Padahal dalam kaidah syari’ah dikatakan
bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan manusia
wajib dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah,
Allah berfirman:“Hai orang–orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil
amri (pemimpin) diantara kamu, kemudian jika
kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (Sunnah) jika kamu benar–benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
(QS. An Nisa: 59).
Dan kita telah kembalikan masalah peringatan
maulid ini kepada Al Quran dan kita dapatkan
di dalamnya bahwa Allah memerintahkan kita
semua untuk mengikuti seluruh yang dibawa
oleh Rasulullah Saw dan mengingatkan kita agar
menjauhi semua yang dilarangnya. Al Quran juga
memberitakan kepada kita bahwa Allah Ta’ala telah
menyempurnakan agama untuk umat ini, sedangkan
peringatan maulid tidak termasuk dalam apa yang
dibawa oleh Rasulullah saw. Ini berarti ia tidak
meniti kesempurnaan iman 51
termasuk ajaran agama yang telah disempurnakan
Allah bagi kita dan Allah telah memerintahkan kita
semua untuk mengikuti Rasulullah Saw.
Kita juga telah kembalikan permasalahan
ini kepada Rasulullah Saw, kemudian kita tidak
mendapatkan bahwa beliau pernah melakukan atau
memerintahkannya.
Begitu pula para sahabat, mereka juga tidak
pernah mengamalkannya.
Dengan demikian kita ketahui bahwa ia
tidaklah termasuk ajaran agama kita tetapi hal
itu meruapkan bid’ah yang diada – adakan dan
mencontoh kaum Yahudi dan Nashrani dalam
perayaan – perayaan mereka.
Ma k a j e l a s l a h b a g i s i a p a s a j a y a n g
menginginkan yang haq bahwa perayaan maulid
bukanlah bagian dari ajaran Islam tetapi ia adalah
bid’ah yang dibuat – buat, yang mana Allah
dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk
meninggalkan dan menghindarinya.
Tidaklah patut bagi seseorang yang berakal,
tergiur dengan banyaknya orang yang melakukan hal
tersebut di berbagai belahan dunia. Sesungguhnya
ukuran kebenaran itu, bukanlah pada banyaknya
52 meniti kesempurnaan iman
jumlah orang yang melakukannya. Tetapi,
ukurannya adalah dalil – dalil syara’, sebagaimana
Allah berfirman tentang orang – orang Yahudi
dan Nashrani.
“Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata
“Sekali – kali tidak akan masuk surga kecuali orang
– orang (yang beragama) Yahudi dan Nashrani,
demikian itu hanya angan – angan mereka yang
kosong belaka”. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti
kebenaranmu jika kamu adalah orang–orang yang
benar” (QS. Al Baqarah: 111).
Allah berfirman: “Dan jika kamu menuruti
kebanyakan orang – orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah” (Qs. Al An’am: 116).
Di samping perayaan maulid tersebut adalah
bid’ah, biasanya ketika acara berlangsung banyak
mengandung kemunkaran lain, seperti campur baur
laki – laki dan wanita, nyanyian dan alat – alat
musik, minuman yang memabukkan, narkotika dan
lain sebagainya. Bahkan terjadi juga hal yang lebih
parah dari itu semua yaitu syirik akbar dengan
menunjukkan sikap yang berlebihan terhadap
Rasulullah Saw atau selainnya seperti para wali
meniti kesempurnaan iman 53
serta berdoa memohon pertolongan dan bantuan
kepadanya dan meyakini bahwa dia mengetahui
hal yang ghaib dan berbagai bentuk kekufuran
lainnya yang dicontoh oleh kebanyakan orang yang
menghadiri perayaan maulid Nabi Saw tersebut
dari orang – orang yang mereka sebut sebagai
wali – wali.
Di dalam hadits yang shahih Rasulullah Saw
bersabda:
“Hindarilah oleh kamu sekalian bersikap
ghuluw (berlebihan) dalam agama. Sesungguhnya
sikap ghuluw dalam agama itulah yang telah
menyebabkan hancurnya orang – orang yang
sebelum kamu”.
Dan Rasulullah Saw bersabda :
“Janganlah kamu sekalian berlebih – lebihan
dalam memujiku sebagaimana orang – orang
Nashrani berlebihan dalam memuji (Isa) putra
Maryam, maka ucapkanlah: Hamba Allah dan
Rasul-Nya”. (HR. Bukhari dari Umar radiyallahu
anhum).
Me r u p a k a n s u a t u h a l y a n g a n e h d a n
mengherankan bahwa banyak diantara manusia
yang rajin dan bersemangat dalam menghadiri
54 meniti kesempurnaan iman
perayaan – perayaan bid’ah tersebut. Bahkan
mereka membela dan mempertahankannya tapi
disisi lain mereka meninggalkan hal – hal yang
secara jelas diwajibkan Allah kepada mereka,
seperti menghadiri shalat Jum’at dan shalat
berjama’ah. Mereka tidak mengindahkannya dan
tidak menganggap bahwa mereka dengan demikian
telah berbuat kemunkaran yang besar.
Ini jelas sekali, disebabkan oleh kelemahan
iman serta minimnya pemahaman dan pengetahuan
terhadap agama, disamping hati yang kotor yang
telah dibalut oleh berbagai macam jenis dosa
dan maksiat. Hanya kepada Allah kita memohon,
keselamatan untuk kita dan seluruh kamu muslimin
di dunia dan akhirat.
Di antara hal yang aneh juga bahwa sebagian
mereka meyakini bahwa Rasulullah Saw hadir
bersama mereka dalam acara maulid tersebut.
Oleh karena itu mereka secara bersama
– sama berdiri untuk menyambut dan memberi
penghormatan kepada beliau. Ini merupakan
kebathilan dan kebodohan yang nyata karena
Rasulullah Saw tidak akan keluar dari kuburnya
sebelum hari kiamat dan selama itu beliau tidak
meniti kesempurnaan iman 55
akan berhubungan dengan siapapun dan tidak akan
hadir dalam pertemuan – pertemuan mereka. Akan
tetapi beliau akan tetap tinggal di kuburnya sampai
hari kiamat sedangkan ruh beliau berada di tempat
tertinggi di sisi Allah di tempat yang mulia.
Allah berfirman: “Kemudian kamu sekalian
setelah itu benar – benar akan mati, kemudian
sesungguhnya kamu sekalian pada hari kiamat akan
dibangkitkan (dari kuburmu)” (QS. Al Mukminun:
15-16).
Rasulullah Saw bersabda: “Aku adalah orang
pertama yang akan dibangkitkan dari kubur pada
hari kiamat dan aku adalah orang pertama yang
memberi syafa’at dan yang diizinkan memberi
syafa’at”.
Ayat dan hadits diatas, begitu pula ayat – ayat
dan hadits – hadits lain yang semakna dengannya
menunjukkan bahwa Nabi Saw and orang – orang
yang meninggal dunia lainnya akan dibangkitkan
dari kubur – kubur mereka pada hari kiamat.
Ini telah merupakan Ijma’ (kesepakatan) para
ulama.
Maka setiap muslim harus hati–hati dalam hal
ini, jangan sampai terjerumus kepada bid’ah bid’ah
56 meniti kesempurnaan iman
dan khurafat yang sengaja diada – adakan oleh
orang – orang jahil dan yang sejenis dengan mereka.
Hanya Allah tempat kita memohon pertolongan,
hanya kepada-Nya kita berserah diri dan tidak ada
daya dan upaya kecuali dengan izin-Nya.
Adapun mengucapkan shalawat dan salam
kepada Rasulullah saw adalah termasuk ibadah
dan amal shaleh yang paling afdhal (utama),
sebagaimana firman Allah :
“Sesungguhnya Allah dan malaikat – malaikat-
Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang–orang
yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi
dan ucapkanlah salam kepadanya” (QS. Al Ahzab:
56).
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang
bershalawat kepadaku dengan satu shalawat
maka Allah akan bershalawat (memberi Rahmat)
kepadanya dengan sepuluh kali lipat”.
Shalawat tersebut disyari’atkan di setiap
waktu, terutama penghujung shalat. Bahkan
menurut sejumlah ulama.
Hukumnya adalah wajib pada tasyahhud akhir
dalam setiap shalat, dan sunah muakkad pada
beberapa waktu, diantaranya adalah setelah adzan,
meniti kesempurnaan iman 57
ketika disebut nama Nabi Saw, pada hari Jum’at
dan malamnya sebagaimana yang tertera dalam
banyak hadits yang shahih.
Semoga Allah memberi taufiq kepada kita
dan seluruh kamu muslimin untuk memahami dan
mendalami Islam, serta konsisten dengannya dan
menganugerahkan kepada kita semua kekuatan
untuk tetap berpegang teguh kepada sunnah dan
menjauhi bid’ah. Sesungguhnya Allah Maha
Pemurah dan Mulia.
Semoga shalawat dan salam senantiasa
tercurah untuk Nabi kita Muhammad, keluarga
dan para sahabatnya.
Tanggapan Habib Munzir Al Musawa
mengenai mereka yang mengingkari Maulid:
“Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw”.
Ketika kita membaca kalimat disamping maka
didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat
ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian
kelompok muslimin, saya akan meringkas
penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika
dan syariah).
58 meniti kesempurnaan iman
Si f a t ma n u s i a c e n d e r u n g me r a y a k a n
sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah
keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya,
mereka merayakannya dengan pesta, mabuk
mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau
bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian
adat istiadat diseluruh dunia.
Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana
kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.
Allah merayakan hari kelahiran para Nabi-Nya:
• Firman Allah: “(Isa berkata dari dalam perut
ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari
kelahiranku, dan hari aku wafat, dan
hari aku dibangkitkan” (QS. Maryam:
33).
• Firman Allah: “Salam Sejahtera dari kami
(untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan
hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan”
(QS. Maryam: 15).
• Rasul saw lahir dengan keadaan sudah
dikhitan (Almustadrak ala shahihain
hadits No.4177)
meniti kesempurnaan iman 59
• Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari
ibunya yang menjadi pembantunya
Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda
Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia
(ibu Utsman) melihat bintang – bintang
mendekat hingga ia takut berjatuhan
diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya
terang – benderang keluar dari Bunda
Nabi saw hingga membuat terang
benderangnya kamar dan rumah (Fathul
Bari Almasyhur juz 6 hal 583).
• Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi
beliau langsung bersujud (Sirah Ibn
Hisyam).
• Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim
bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan
Nabi saw melihat cahaya yang terang
– benderang hingga pandangannya
menembus dan melihat istana - istana
Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6
hal 583) .
• Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh
singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh
pula 14 buah jendela besar di Istana
60 meniti kesempurnaan iman
Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran
Persia yang 1000 tahun tak pernah padam
Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583).
Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan
oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul
menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt
telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah
saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula
membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabinabi
sebelumnya.
Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau
saw.
Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di
hari senin, beliau saw menjawab: “Itu adalah hari
kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih
Muslim hadits no.1162) dari hadits ini sebagian
saudara-saudara kita mengatakan boleh merayakan
maulid Nabi saw asal dengan puasa.
Rasul saw jelas – jelas memberi pemahaman
bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw
daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah
hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak
meniti kesempurnaan iman 61
menjawab misalnya: “Oh puasa hari senin itu mulia
dan boleh – boleh saja..”, namun beliau bersabda:
“Itu adalah hari kelahiranku” menunjukkan bagi
beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai
tambah dari hari-hari lainnya.
Contoh mudah misalnya Zeyd bertanya pada
Amir: “Bagaimana kalau kita berangkat umroh
pada 1 Januari?” maka amir menjawab: “Oh itu
hari kelahiran saya”.
Nah.. bukankah jelas – jelas bahwa Zeyd
memahami bahwa 1 januari adalah hari yang
berbeda dari hari – hari lainnya bagi Amir? dan
Amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 Januari
itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir
ini termasuk orang yang perhatian pada hari
kelahirannya, kalau Amir tak acuh dengan hari
kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut–
nyebut bahwa 1 Januari adalah hari kelahirannya,
dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin
untuk merayakan kelahirannya.
Pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan
jawaban beliau saw yang lebih luas dari sekedar
pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir
tidak memerintahkan umroh pada 1 januari karena
62 meniti kesempurnaan iman
itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang
berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya
dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya
pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin,
maksudnya boleh atau tidak? Rasul saw menjawab
hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari
kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi
beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa
dihari itu.
Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk
yang perhatian pada hari kelahiran beliau saw,
karena memang merupakan bermulanya sejarah
bangkitnya islam.
Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw.
Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra:
“Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..”
maka Rasul saw menjawab: “Silahkan..,maka Allah
akan membuat bibirmu terjaga” maka Abbas ra
memuji dengan syair yg panjang, diantaranya:
“… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari
kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga
meniti kesempurnaan iman 63
terang benderang, dan langit bercahaya dengan
cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu
dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami
terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain
hadits no.5417).
Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas
kelahiran Nabi saw
Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib
melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas
bertanya padanya:
“Baga imana ke ada anmu? ” Abu Laha b
menjawab: “Di neraka, cuma diringankan siksaku
setiap senin karena aku membebaskan budakku
Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul
saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan
Imam Baihaqi Alkubra hadits No.13701, Syi’bul
Iman No.281, Fathul Baari Almasyhur juz 11 hal
431).
Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam
barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah
siksanya atau menguranginya menurut kehendak
Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari
64 meniti kesempurnaan iman
senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasul
saw dengan membebaskan budaknya.
Walaupun mimpi tidak dapat dijadikan hujjah
untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi
dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah
dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas
kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu
dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka
Imam - imam diatas yang meriwayatkan hal itu
tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu
benar adanya, karena diakui oleh imam imam dan
mereka tidak mengingkarinya.
Lebih lagi hal itu teriwayatkan pada Shahih
Bukhari, dan sebagian para Muhadditsin pun
mengatakan:
”Tidak mudah untuk mengingkari hal ini,
karena Imam Bukhari meriwayatkan hal itu pada
shahih nya.
Karena walaupun hal itu Cuma mimpi
Abbas ra, tapi sudah berubah menjadi ucapan
Abbas ra karena ia telah mengucapkannya, dan
jika hal itu batil maka Sayyidina Abbas ra tak
akan menceritakannya, dan diperkuat pula Imam
Bukhari pada Shahih nya meriwayatkan ucapan
meniti kesempurnaan iman 65
Abbas ra itu, maka ucapan itu telah menjadi
hujjah, karena diucapkan oleh Sahabat besar,
Abbas bin Abdulmuttalib ra paman Nabi saw. Dan
diriwayatkan pada Shahih Bukhari.
Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di
masjid.
Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid
Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar ra, lalu
Hassan berkata
“Aku sudah baca syair nasyidah disini
dihadapan orang yang lebih mulia dari engkau
wahai Umar (yaitu Nabi saw) lalu Hassan berpaling
pada Abu Hurairah ra dan berkata: “Bukankah
kau dengar Rasul saw menjawab syairku dengan
doa: Wahai Allah bantulah ia dengan RuhulQudus?
maka Abu Hurairah ra berkata: “Betul” (shahih
Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits
No.2485).
Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair
di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana
beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan
syair di masjid, namun jelaslah bahwa yang
66 meniti kesempurnaan iman
dilarang adalah syair – syair yang membawa pada
Ghaflah, pada keduniawian, namun syair – syair
yang memuji Allah dan Rasul-Nya maka hal itu
diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan
didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat
diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana
dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar
khusus untuk Hassan bin Tsabit di masjid agar
ia berdiri untuk melantunkan syair – syairnya
(Mustadrak ala Shahihain hadits No.6058, Sunan
Attirmidzi hadits No.2846) oleh Aisyah ra bahwa
ketika ada beberapa sahabat yang mengecam
Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata:
“Jangan kalian caci Hassan, sungguh ia itu selalu
membanggakan Rasulullah saw” (Musnad Abu
Ya’la Juz 8 hal 337).
Pendapat Para Imam dan Muhaddits
atas perayaan Maulid
1. Pendapat Imam Al Hafidh Ibn Hajar AlAsqalaniy
rahimahullah:
Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai
padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang
meniti kesempurnaan iman 67
ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang
berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul
saw bertanya maka mereka berkata
“Hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun
dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami
berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt,
maka bersabda Rasul saw:
“Kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”,
maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas
anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu
setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa
didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud
syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur ’an,
maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan
Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “Sungguh
Allah telah memberikan anugerah pada orangorang
mu’min ketika dibangkitkannya Rasul dari
mereka” (QS. Al Imran: 164)
2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin AsSuyuthi
rahimahullah:
Telah jelas padaku bahwa telah muncul
riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw berakikah
untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi
68 meniti kesempurnaan iman
(Ahaditsulmukhtarah hadis No.1832 dengan sanad
shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9
hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah
ber-aqiqah untuknya kakeknya Abdulmuttalib
saat usia beliau saw berunur 7 tahun, dan aqiqah
tak mungkin diperbuat dua kali.
Maka jelaslah bahwa aqiqah beliau saw
yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda
syukur beliau saw kepada Allah swt yang telah
membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan
lil’aalamiin dan membawa Syariah untuk
ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk
menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau
saw dengan mengumpulkan teman teman dan
saudara saudara, menjamu dengan makanan -
makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan
diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan
Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku
khusus mengenai perayaan maulid dengan nama
“Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.
3.Pendapat Imam Al Hafidh AbuSyaamah
rahimahullah (guru Imam Nawawi):
Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di
meniti kesempurnaan iman 69
zaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat
setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan
banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu
para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan
Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada
beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan
kelahiran Nabi saw.
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin
Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif
bitta’rif MaulidisSyariif:
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan
dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu? ia
menjawab:
“Di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap
malam senin, itu semua sebab aku membebaskan
budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas
kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah
menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari).
Maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an
turun mengatakannya di neraka mendapat
keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran
Nabi saw, maka bagaimana dengan muslim ummat
Muhammad saw yang gembira atas kelahiran Nabi
70 meniti kesempurnaan iman
saw? maka demi usiaku, sungguh balasan dari
Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh - sungguh
ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya
dengan sebab Anugerah-Nya.
5. Pendapat Imam Alhafidh Syamsuddin bin
Nashiruddin Addimasyqiy rahimahullah
dalam kitabnya Auridusshaadiy fii Maulidul
Haadiy:
Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’
Alhafidh Syamsuddin Aljazriy, yaitu menukil
hadits Abu Lahab.
6. Pendapat Imam Al Hafidh AsSakhawiy
rahimahullah dalam kitab Sirah
Al Halabiyah:
Berkata ”Tidak dilaksanakan maulid oleh
salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan
setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat
islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah
pada malamnya dengan berbagai macam sedekah
dan memperhatikan pembacaan maulid, dan
berlimpah terhadap mereka keberkahan yang
sangat besar”.
meniti kesempurnaan iman 71
7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah:
Dalam syarahnya maulid Ibn Hajar berkata:
”Ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah
pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi
saw”.
8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah:
Dengan karangan maulidnya yang terkenal
”Al Aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan
maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan
tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai
semua maksud dan keinginan bagi siapa yang
membacanya serta merayakannya”.
9. Imam Al Hafidh AlQasthalani rahimahullah:
Dalam kitabnya ”Al Mawahibulladunniyyah”
juz 1 hal 148 cetakan al maktab Al Islami berkata:
”Maka Allah akan menurukan rahmat-Nya kepada
orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw
sebagai hari besar”.
10. Imam Al Hafidh Al Muhaddits AbulKhattab
Umar bin Ali bin Muhammad rahimahullah
yang terkenal dengan Ibn Dihyah AlKalbi:
72 meniti kesempurnaan iman
Dengan karangan maulidnya yang bernama
”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”.
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin
Muhammad bin Abdullah AlJuzri
rahimahullah:
Dengan maulidnya ”Urfu at ta’rif bi maulid
assyarif”.
12. Imam Al Hafidh Ibn Katsir rahimahullah:
Yang karangan kitab maulidnya dikenal
dengan nama ”Maulid Ibn Katsir”.
13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy rahimahullah:
Dengan maulidnya ”Maurid al hana fi maulid
assana”.
14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy
rahimahullah:
Telah mengarang beberapa maulid ”Jaami’
al astar fi maulid nabi al mukhtar” 3 jilid,
”Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq”,
”Maurud asshadi fi maulid al hadi”.
meniti kesempurnaan iman 73
15. Imam AsSyakhawiy rahimahullah:
Dengan maulidnya ”Al fajr al ulwi fi maulid
an nabawi”.
16. Al Allamah Al faqih Ali Zainal Abidin
AsSyamuhdi:
Dengan maulidnya ”Al mawarid al haniah
fi maulid khairil bariyyah”.
17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman
bin Ali bin Muhammad AsSyaibaniy yang
terkenal dengan nama Ibn Diba’:
Dengan maulidnya ”AdDibai’i”.
18. Imam Ibn Hajar Alhaitsami:
Dengan maulidnya ”Itmam anni’mah alal
alam bi maulid syayidi waladu adam”.
19. Imam Ibrahim Baajuri:
Mengarang hasiah atas maulid Ibn hajar
dengan nama ”Tuhfah al basyar ala maulid Ibn
hajar”.
74 meniti kesempurnaan iman
20. Al Allamah Ali Al Qari’:
Dengan maulidnya ”Maurud arrowi fi
maulid nabawi”.
21. Al Allamah Al Muhaddits Ja’far bin Hasan
AlBarzanji:
Dengan maulidnya yang terkenal ”Maulid
Barzanji”.
22. Al Imam Al Muhaddist Muhammad bin Jakfar
Al Kattani:
Dengan maulid ”Al yaman wal is’ad bi
maulid khair al ibad”.
23. Al Allamah Syeikh Yusuf bin Ismail
AnNabhaniy:
Dengan maulid ”Al jawahir an nadmu al
badi fi maulid as syafii’”.
24. Imam Ibrahim AsSyaibaniy:
Dengan maulidnya ”Al maulid musthofa
adnaani”.
meniti kesempurnaan iman 75
25. Imam Abdulghaniy Annablisy:
Dengan maulidnya ”Al alam al ahmadi fi
maulid muhammadi”.
26. Syihabuddin Al Halwani:
Dengan maulid ”Fath al latif fi syarah maulid
assyarif”.
27. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati:
Dengan maulid ”Al kaukab al azhar alal ’iqdu
al jauhar fi maulid nadi al azhar”.
28. AsSyeikh Ali Attanthowiy:
Dengan maulid ”Nur as shofa’ fi maulid al
musthofa”.
29. AsSyeikh Muhammad Al Maghribi:
Dengan maulid ”At tajaliat al khifiah fi maulid
khoir al bariah”.
Tiada satupun para Muhadditsin dan para
Imam yang menentang dan melarang hal ini,
mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan
Muhadditsin yang menentang maulid sebagaimana
76 meniti kesempurnaan iman
disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka
mereka ternyata hanya menggunting dan memotong
ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas
– jelas meniru kelicikan para misionaris dalam
menghancurkan Islam.

Senin, 24 Juni 2013

KEJANGGALAN GOLONGAN SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL

KEJANGGALAN GOLONGAN SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan para Sahabat Beliau (Khulafaur Rasyidun)
  • Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyin
  • Pengertian As-Sunnah pada Hadits yang Umum
2. DALIL PERINTAH DAN LARANGAN
3. Dalil Sesatnya setiap “bid’ah”
Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur’an 2. Sunnah 3. Ijma’  4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur’an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma’ (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur’an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam al-Qur’an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
Digunakannya  ijma’ dan qiyas (yang mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan hukum suatu perkara di dalam al-Qur’an dan Sunnah, tidak berarti menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan. Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar dan isyarat al-Qur’an atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan hidup manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang ditakdirkan berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur’an atau Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur’an bila harus memuat seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi Adam As. sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada masalah baru yang timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur’an atau Sunnah, Allah telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad dengan akalnya, tentunya dengan panduan prinsip-prinsip yang telah diberikan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt. berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup  manusia di dunia dan akhirat.
Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan akal seperti ijtihad atau ta’wil para ulama yang merupakan jalan bagi terwujudnya ijma’ dan qiyas tidak berlaku (meskipun sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya sendiri). Bagi mereka, tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh Rasulullah Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur’an) maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai perkara agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung menyebutkannya atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai “pendapat manusia” yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan dasar. Entah lupa atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam Syafi’I atau Imam Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap tidak lebih tahu tentang dalil dibandingkan diri mereka.
Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan pola pikir mereka “kasuistik”, artinya terlalu tekstual dalam memahami dalil sehingga apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur’an atau hadis secara khusus tentang suatu perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya tanpa dikurangi atau ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan secara khusus oleh dalil maka tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka juga mengutarakan dalil khusus untuk “tidak membolehkan” perkara yang yang tidak disebutkan oleh dalil, tapi ternyata tidak demikian.
Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus atau langsung, dan ini disebut “dalil khusus”.
Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang karena dianggap bid’ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid’ah secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid’ah itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir “dalil umum”.
Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang dasar-dasar hukum agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum di dalam suatu dalil, secara bahasa akan mencakup segala hal yang terkandung oleh keumuman lafaz tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan untuk menunjukkan satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz dalil yang mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis adalah merupakan lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan “perkara baru”, sehingga tidak sah bila kata bid’ah itu diarahkan kepada perkara-perkara tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan.
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid’ah, tentunya karena pola pikir “kasuistik” atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur’an atau hadis.
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid’ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku “Ensiklopedia Bid’ah” karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul /pokok) dan yang tidak prinsip (furu’/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari’at atau menetapkan syari’at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.
Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta’wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari’at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur’an & hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.

KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL

KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan para Sahabat Beliau (Khulafaur Rasyidun)
  • Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyin
  • Pengertian As-Sunnah pada Hadits yang Umum
2. DALIL PERINTAH DAN LARANGAN
3. Dalil Sesatnya setiap “bid’ah”
Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur’an 2. Sunnah 3. Ijma’  4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur’an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma’ (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur’an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam al-Qur’an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
Digunakannya  ijma’ dan qiyas (yang mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan hukum suatu perkara di dalam al-Qur’an dan Sunnah, tidak berarti menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan. Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar dan isyarat al-Qur’an atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan hidup manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang ditakdirkan berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur’an atau Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur’an bila harus memuat seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi Adam As. sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada masalah baru yang timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur’an atau Sunnah, Allah telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad dengan akalnya, tentunya dengan panduan prinsip-prinsip yang telah diberikan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt. berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup  manusia di dunia dan akhirat.
Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan akal seperti ijtihad atau ta’wil para ulama yang merupakan jalan bagi terwujudnya ijma’ dan qiyas tidak berlaku (meskipun sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya sendiri). Bagi mereka, tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh Rasulullah Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur’an) maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai perkara agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung menyebutkannya atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai “pendapat manusia” yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan dasar. Entah lupa atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam Syafi’I atau Imam Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap tidak lebih tahu tentang dalil dibandingkan diri mereka.
Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan pola pikir mereka “kasuistik”, artinya terlalu tekstual dalam memahami dalil sehingga apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur’an atau hadis secara khusus tentang suatu perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya tanpa dikurangi atau ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan secara khusus oleh dalil maka tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka juga mengutarakan dalil khusus untuk “tidak membolehkan” perkara yang yang tidak disebutkan oleh dalil, tapi ternyata tidak demikian.
Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus atau langsung, dan ini disebut “dalil khusus”.
Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang karena dianggap bid’ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid’ah secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid’ah itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir “dalil umum”.
Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang dasar-dasar hukum agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum di dalam suatu dalil, secara bahasa akan mencakup segala hal yang terkandung oleh keumuman lafaz tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan untuk menunjukkan satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz dalil yang mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis adalah merupakan lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan “perkara baru”, sehingga tidak sah bila kata bid’ah itu diarahkan kepada perkara-perkara tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan.
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid’ah, tentunya karena pola pikir “kasuistik” atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur’an atau hadis.
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid’ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku “Ensiklopedia Bid’ah” karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul /pokok) dan yang tidak prinsip (furu’/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari’at atau menetapkan syari’at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.
Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta’wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari’at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur’an & hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.

KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL

KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan para Sahabat Beliau (Khulafaur Rasyidun)
  • Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyin
  • Pengertian As-Sunnah pada Hadits yang Umum
2. DALIL PERINTAH DAN LARANGAN
3. Dalil Sesatnya setiap “bid’ah”
Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur’an 2. Sunnah 3. Ijma’  4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur’an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma’ (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur’an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam al-Qur’an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
Digunakannya  ijma’ dan qiyas (yang mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan hukum suatu perkara di dalam al-Qur’an dan Sunnah, tidak berarti menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan. Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar dan isyarat al-Qur’an atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan hidup manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang ditakdirkan berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur’an atau Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur’an bila harus memuat seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi Adam As. sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada masalah baru yang timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur’an atau Sunnah, Allah telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad dengan akalnya, tentunya dengan panduan prinsip-prinsip yang telah diberikan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt. berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup  manusia di dunia dan akhirat.
Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan akal seperti ijtihad atau ta’wil para ulama yang merupakan jalan bagi terwujudnya ijma’ dan qiyas tidak berlaku (meskipun sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya sendiri). Bagi mereka, tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh Rasulullah Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur’an) maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai perkara agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung menyebutkannya atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai “pendapat manusia” yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan dasar. Entah lupa atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam Syafi’I atau Imam Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap tidak lebih tahu tentang dalil dibandingkan diri mereka.
Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan pola pikir mereka “kasuistik”, artinya terlalu tekstual dalam memahami dalil sehingga apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur’an atau hadis secara khusus tentang suatu perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya tanpa dikurangi atau ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan secara khusus oleh dalil maka tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka juga mengutarakan dalil khusus untuk “tidak membolehkan” perkara yang yang tidak disebutkan oleh dalil, tapi ternyata tidak demikian.
Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus atau langsung, dan ini disebut “dalil khusus”.
Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang karena dianggap bid’ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid’ah secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid’ah itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir “dalil umum”.
Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang dasar-dasar hukum agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum di dalam suatu dalil, secara bahasa akan mencakup segala hal yang terkandung oleh keumuman lafaz tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan untuk menunjukkan satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz dalil yang mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis adalah merupakan lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan “perkara baru”, sehingga tidak sah bila kata bid’ah itu diarahkan kepada perkara-perkara tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan.
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid’ah, tentunya karena pola pikir “kasuistik” atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur’an atau hadis.
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid’ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku “Ensiklopedia Bid’ah” karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul /pokok) dan yang tidak prinsip (furu’/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari’at atau menetapkan syari’at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.
Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta’wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari’at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur’an & hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.
Di sinilah pangkalnya, kenapa kaum Salafi & Wahabi selalu mempermasalahkan amalan atau keyakinan orang lain, padahal amalan orang yang disalahkan itu hanyalah masalah furu’ (cabang/tidak prinsip). Ini adalah akibat dari pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau tekstual apa adanya, sehingga semua urusan dan amalan “berbau agama” dipandang oleh  kaum Salafi & Wahabi sebagai perkara ushul (pokok/prinsip) yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau kufur.
Padahal, untuk menentukan hukum sesat, syirik, atau kufur, mereka harus mendatangkan dalil-dalil yang pasti dan secara jelas menyebut demikian. Nyatanya, mereka malah menggunakan dalil-dalil umum. Dalil-dalil larangan bid’ah yang sangat diandalkan oleh kaum Salafi & Wahabi itulah yang akan kita bahas secara tuntas dalam buku/film dakwah ini, agar setiap orang dapat menilainya secara obyektif. Dan bila diklasifikasikan, maka dalil-dalil tersebut dapat kita kategorikan menjadi:
  • Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (Khulafa’ur Rasyidin)
  • Dalil perintah & larangan
  • Dalil sesatnya setiap bid’ah (perkara baru yang diada-adakan di dalam agama)
Tidak ada komentar:

al-lbani

Siapakah Al Bani ?

Kedudukan  Nashiruddin al-Albani Dalam Menilai Hadis 
Syaikh Nashiruddin al-AlBani adalah nama yang tidak asing di kalangan para pelajar ilmu hadis belakangan ini. Namanya banyak dicantumkan oleh para penulis buku-buku Islam (terutama yang berpaham Salafi & Wahabi) saat mengomentari suatu hadis. Karya-karyanya juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh para pengagumnya, sehingga namanya kini juga banyak didapati di toko-toko buku dan stan-stan pameran buku, berhubung penerbit-penerbit buku atau majalah berhaluan Salafi & Wahabi belakangan sudah semakin menjamur.
Akan tetapi, tahukah anda, bahwa sesungguhnya kepiawaian Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam menilai hadis diragukan oleh para ulama hadis, bahkan cenderung tidak diakui, menimbang bahwa beliau tidak memiliki jalur keilmuan yang jelas dalam bidang tersebut. Lebih jelasnya, penulis akan menyebutkan sekelumit gambaran tentang pribadi Syaikh al-Albani ini sebagaimana ditulis oleh Tim Bahtsul Masa’il PCNU Jember di dalam buku Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik” (H. Mahrus Ali),  halaman 245-247 sebagai berikut:
Dewasa ini tidak sedikit di antara pelajar Ahlussunnah Waljama’ah yang tertipu dengan karya-karya al-Albani dalam bidang ilmu hadits, karena belum mengetahui siapa sebenarnya al-Albani itu. Pada mulanya, al-Albani adalah seorang tukang jam. Ia memiliki kegemaran membaca buku. Dari kegemarannya ini, ia curahkan untuk mendalami ilmu hadits secara otodidak, tanpa mempelajari hadits dan ilmu agama yang lain kepada para ulama, sebagaimana yang menjadi tradisi ulama salaf dan ahli hadits. Oleh karena itu al-Albani tidak memiliki sanad hadits yang mu’tabar (diakui-red). Kemudian ia mengaku sebagai pengikut salaf, padahal memiliki akidah yang berbeda dengan mereka, yaitu aqidah Wahhabi dan tajsim (menafsirkan ayat-ayat tentang fisik Allah apa adanya-red).
Oleh karena akidah al-Albani yang berbeda denga akidah ulama ahli hadits dan kaum Muslimin, maka hadits-hadits yang menjadi hasil kajiannya sering bertentangan dengan pandangan ulama ahli hadits. Tidak jarang al-Albani menilai dha’if dan maudhu’ terhadap hadits-hadits yang disepakati keshahihannya oleh para hafizh, hanya dikarenakan hadits tersebut berkaitan dengan dalil tawassul. Salah satu contoh misalnya, dalam kitabnya al-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu (cet. 3, hal. 128), al-Albani mendha’ifkan hadits Aisyah Ra. yang diwayatkan oleh ad-Darimi dalam al-Sunan-nya, dengan alasan dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama Sa’id bin Zaid, saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, al-Albani sendir telah menilai Sa’id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan (baik) dan jayyid (bagus) haditsnya yaitu dalam kitabnya Irwa’ al-Ghalil (5/338).
Di antara Ulama Islam yang mengkritik al-Albani adalah al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath al-’Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdullah al-Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits Mahmud Sa’id Mamduh dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf’u al-Manarah li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A’zhami dari India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania; al-Imam al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dari Mekkah; Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dari Najd (ulama Wahabi-red) yang menyatakan bahwa al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain. Masing-masing ulama tersebut telah mengarang bantahan terhadap al-Albani (sebagian dari buku-buku al-Albani dan bantahannya ada pada perpustakaan kami [Tim PCNU Jember-red]).
Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan.
Kenyataan tersebut di atas juga diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam tanggapan beliau terhadap al-Albani yang mengomentari hadis-hadis di dalam kitab beliau berjudul al-Halal wal-Haram fil-Islam, sebagai berikut:
Oleh sebab itu, penetapan Syaikh al-Albani tentang dha’if-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah yang qath’I (pasti-red) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syaikh al-Albani hafizhahullah kadang-kadang melemahkan suatu hadits dalam satu kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya-red) dalam kitab lain. (Lihat Halal dan Haram , DR. Yusuf Qardhawi, Robbani Press, Jakarta, 2000, hal. 417).
Syaikh Yusuf Qardhawi juga banyak menghadirkan bukti-bukti kecerobohan al-Albani dalam menilai hadis yang sekaligus menunjukkan sikapnya yang “plin-plan”, sehingga hasil penelitiannya terhadap hadis sangat diragukan dan tidak dapat dijadikan pedoman. Belum lagi bila menilik fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial, maka semakin tampaklah cacat yang dimilikinya itu.
Di antara fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial itu sebagaimana disebut di dalam buku Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik” (H. Mahrus Ali),  halaman 241-245 adalah :
1. Mengharamkan memakai cincin, gelang, dan kalung emas bagi kaum wanita
2. Mengharamkan berwudhu dengan air yang lebih dari satu mud (sekitar setengah liter) dan mengharamkan mandi dengan air yang lebih dari lima mud (sekitar tiga liter).
3. Mengharamkan shalat malam melebihi 11 raka’at.
4. Mengharamkan memakai tasbih (penghitung) untuk berdzikir.
5. Melarang shalat tarawih melebihi 11 raka’at.
Ada pula fatwa-fatwanya yang nyeleneh, seperti: Menganggap adzan kedua di hari Jum’at sebagai bid’ah yang tidak boleh dilakukan (lihat al-Ajwibah al-Nafi’ah), menganggap bid’ah berkunjung kepada keluarga dan sanak famili pada saat hari raya, mengharuskan warga Muslim Palestina agar keluar dari negeri mereka dan menganggap yang masih bertahan di Palestina adalah kafir (lihat Fatawa al-Albani, dikumpulkan oleh ‘Ukasyah Abdul Mannan, hal. 18), mengajak kaum Muslimin untuk membongka al-Qubbah al-Khadhra’ (kubah hijau yang menaungi makan Rasulullah Saw.) dan mengajak mengeluarkan makan Rasulullah Saw. dan Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar ke lokasi luar Masjid Nabawi (lihat Tahdzir al-Sajid min Ittikhadz al-Qubur Masajid, hal. 68), dan bahkan al-Albani berani menyatakan secara bahwa sikap Imam Bukhari dalam menta’wil sebuah ayat di dalam kitab Shahih Bukhari adalah sikap yang tidak pantas dilakukan seorang Muslim yang beriman (artinya secara tidak langsung ia telah menuduh al-Bukhari kafir dengan sebab ta’wilnya tersebut) (lihat Fatawa al-Albani, hal. 523).
Jadi, setelah mengetahui kenyataan yang sedemikian buruknya tentang kredibilitas al-Albani dalam kegemarannya mengomentari hadis-hadis Rasulullah Saw. yang terdapat di berbagai kitab para ulama, maka orang-orang berakal sehat tidak akan lagi memandang “pantas” untuk menjadikan karya-karya al-Albani sebagai rujukan ilmiah, apalagi dalam rangka memvonis suatu amalan sebagai bid’ah hanya karena dalilnya didha’ifkan oleh al-Albani. Kejanggalan al-Albani itu bahkan juga dirasakan oleh ulama Wahabi seperti al-’Utsaimin dan yang lainnya, sehingga para pengikut Salafi & Wahabi (terutama yang ada di Indonesia) tidak sepantasnya mengunggulkan karya-karya al-Albani, apalagi menerbitkan dan menyebarluaskannya.