KEJANGGALAN GOLONGAN SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
KEJANGGALAN GOLONGAN SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan para Sahabat Beliau (Khulafaur Rasyidun)
3. Dalil Sesatnya setiap “bid’ah” |
Berargumen dengan dalil adalah
merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di
dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil
yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada
empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur’an 2. Sunnah
3. Ijma’ 4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan
penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur’an, maka dirujuklah kepada Hadis
atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka
dirujuklah ijma’ (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan
isyarat-isyarat al-Qur’an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka
digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu
perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut
di dalam al-Qur’an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan
para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
Digunakannya ijma’ dan qiyas (yang
mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan
hukum suatu perkara di dalam al-Qur’an dan Sunnah, tidak berarti
menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki
kekurangan. Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha
Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti
yang sangat mendetail di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar,
baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku
di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja
memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan
dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar
dan isyarat al-Qur’an atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan
hidup manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara
alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang ditakdirkan
berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan
yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia
beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal
tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah
diciptakan Allah Swt. ini, bila segala permasalahan hidup manusia
semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur’an atau Sunnah;
betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur’an bila harus memuat
seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di
setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi Adam As.
sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak
perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat
agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada
masalah baru yang timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan
dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur’an
atau Sunnah, Allah telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad
dengan akalnya, tentunya dengan panduan prinsip-prinsip yang telah
diberikan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt.
berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan
akal seperti ijtihad atau ta’wil para ulama yang merupakan jalan bagi
terwujudnya ijma’ dan qiyas tidak berlaku (meskipun
sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya sendiri). Bagi mereka,
tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh Rasulullah
Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada
ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur’an)
maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai
perkara agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung
menyebutkannya atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai “pendapat
manusia” yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan
dasar. Entah lupa atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam
Syafi’I atau Imam Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap
tidak lebih tahu tentang dalil dibandingkan diri mereka.
Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan
pola pikir mereka “kasuistik”, artinya terlalu tekstual dalam memahami
dalil sehingga apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur’an atau hadis secara
khusus tentang suatu perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya
tanpa dikurangi atau ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan
secara khusus oleh dalil maka tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka
juga mengutarakan dalil khusus untuk “tidak membolehkan” perkara yang
yang tidak disebutkan oleh dalil, tapi ternyata tidak demikian.
Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus atau langsung, dan ini disebut “dalil khusus”.Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang karena dianggap bid’ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid’ah secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid’ah itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir “dalil umum”.
Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang
dasar-dasar hukum agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum
di dalam suatu dalil, secara bahasa akan mencakup segala hal yang
terkandung oleh keumuman lafaz tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang
umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan untuk menunjukkan
satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz dalil yang
mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid’atin dhalalah
(setiap bid’ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis
adalah merupakan lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan
“perkara baru”, sehingga tidak sah bila kata bid’ah itu diarahkan kepada
perkara-perkara tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi
Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang
mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil
umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan.
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini
tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa
terutama mengenai bid’ah, tentunya karena pola pikir
“kasuistik” atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka
tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah dihiasi oleh
dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya
dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah
disebutkan secara khusus di dalam al-Qur’an atau hadis.
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid’ah yang
dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil
yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa
mereka tentang bid’ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama
akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali.
Anda bisa buktikan itu di dalam buku “Ensiklopedia Bid’ah” karya
Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini
baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan
dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada
tempatnya.
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul,
mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di
dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang
prinsip (ushul /pokok) dan yang tidak prinsip (furu’/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut,
umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar
di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski
berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses
berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan
untuk memudah-mudahkan syari’at atau menetapkan syari’at baru, tetapi
untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran
Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.
Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta’wil (penafsiran
terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan
tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh
pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan
syari’at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi,
segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur’an
& hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa
saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak
terdapat di dalam al-Qur’an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan
dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.
KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan para Sahabat Beliau (Khulafaur Rasyidun)
3. Dalil Sesatnya setiap “bid’ah” |
Berargumen dengan dalil adalah
merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di
dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil
yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada
empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur’an 2. Sunnah
3. Ijma’ 4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan
penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur’an, maka dirujuklah kepada Hadis
atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka
dirujuklah ijma’ (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan
isyarat-isyarat al-Qur’an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka
digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu
perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut
di dalam al-Qur’an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan
para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
Digunakannya ijma’ dan qiyas (yang
mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan
hukum suatu perkara di dalam al-Qur’an dan Sunnah, tidak berarti
menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki
kekurangan. Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha
Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti
yang sangat mendetail di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar,
baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku
di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja
memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan
dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar
dan isyarat al-Qur’an atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan
hidup manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara
alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang ditakdirkan
berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan
yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia
beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal
tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah
diciptakan Allah Swt. ini, bila segala permasalahan hidup manusia
semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur’an atau Sunnah;
betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur’an bila harus memuat
seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di
setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi Adam As.
sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak
perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat
agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada
masalah baru yang timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan
dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur’an
atau Sunnah, Allah telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad
dengan akalnya, tentunya dengan panduan prinsip-prinsip yang telah
diberikan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt.
berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan
akal seperti ijtihad atau ta’wil para ulama yang merupakan jalan bagi
terwujudnya ijma’ dan qiyas tidak berlaku (meskipun
sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya sendiri). Bagi mereka,
tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh Rasulullah
Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada
ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur’an)
maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai
perkara agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung
menyebutkannya atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai “pendapat
manusia” yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan
dasar. Entah lupa atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam
Syafi’I atau Imam Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap
tidak lebih tahu tentang dalil dibandingkan diri mereka.
Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan
pola pikir mereka “kasuistik”, artinya terlalu tekstual dalam memahami
dalil sehingga apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur’an atau hadis secara
khusus tentang suatu perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya
tanpa dikurangi atau ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan
secara khusus oleh dalil maka tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka
juga mengutarakan dalil khusus untuk “tidak membolehkan” perkara yang
yang tidak disebutkan oleh dalil, tapi ternyata tidak demikian.
Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus atau langsung, dan ini disebut “dalil khusus”.Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang karena dianggap bid’ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid’ah secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid’ah itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir “dalil umum”.
Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang
dasar-dasar hukum agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum
di dalam suatu dalil, secara bahasa akan mencakup segala hal yang
terkandung oleh keumuman lafaz tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang
umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan untuk menunjukkan
satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz dalil yang
mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid’atin dhalalah
(setiap bid’ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis
adalah merupakan lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan
“perkara baru”, sehingga tidak sah bila kata bid’ah itu diarahkan kepada
perkara-perkara tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi
Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang
mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil
umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan.
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini
tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa
terutama mengenai bid’ah, tentunya karena pola pikir
“kasuistik” atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka
tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah dihiasi oleh
dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya
dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah
disebutkan secara khusus di dalam al-Qur’an atau hadis.
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid’ah yang
dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil
yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa
mereka tentang bid’ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama
akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali.
Anda bisa buktikan itu di dalam buku “Ensiklopedia Bid’ah” karya
Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini
baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan
dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada
tempatnya.
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul,
mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di
dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang
prinsip (ushul /pokok) dan yang tidak prinsip (furu’/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut,
umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar
di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski
berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses
berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan
untuk memudah-mudahkan syari’at atau menetapkan syari’at baru, tetapi
untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran
Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.
Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta’wil (penafsiran
terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan
tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh
pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan
syari’at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi,
segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur’an
& hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa
saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak
terdapat di dalam al-Qur’an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan
dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.
KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan para Sahabat Beliau (Khulafaur Rasyidun)
3. Dalil Sesatnya setiap “bid’ah” |
Berargumen dengan dalil adalah
merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di
dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil
yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada
empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur’an 2. Sunnah
3. Ijma’ 4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan
penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur’an, maka dirujuklah kepada Hadis
atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka
dirujuklah ijma’ (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan
isyarat-isyarat al-Qur’an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka
digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu
perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut
di dalam al-Qur’an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan
para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
Digunakannya ijma’ dan qiyas (yang
mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan
hukum suatu perkara di dalam al-Qur’an dan Sunnah, tidak berarti
menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki
kekurangan. Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha
Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti
yang sangat mendetail di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar,
baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku
di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja
memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan
dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar
dan isyarat al-Qur’an atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan
hidup manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara
alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang ditakdirkan
berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan
yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia
beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal
tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah
diciptakan Allah Swt. ini, bila segala permasalahan hidup manusia
semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur’an atau Sunnah;
betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur’an bila harus memuat
seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di
setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi Adam As.
sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak
perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat
agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada
masalah baru yang timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan
dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur’an
atau Sunnah, Allah telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad
dengan akalnya, tentunya dengan panduan prinsip-prinsip yang telah
diberikan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt.
berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan
akal seperti ijtihad atau ta’wil para ulama yang merupakan jalan bagi
terwujudnya ijma’ dan qiyas tidak berlaku (meskipun
sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya sendiri). Bagi mereka,
tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh Rasulullah
Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada
ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur’an)
maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai
perkara agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung
menyebutkannya atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai “pendapat
manusia” yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan
dasar. Entah lupa atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam
Syafi’I atau Imam Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap
tidak lebih tahu tentang dalil dibandingkan diri mereka.
Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan
pola pikir mereka “kasuistik”, artinya terlalu tekstual dalam memahami
dalil sehingga apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur’an atau hadis secara
khusus tentang suatu perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya
tanpa dikurangi atau ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan
secara khusus oleh dalil maka tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka
juga mengutarakan dalil khusus untuk “tidak membolehkan” perkara yang
yang tidak disebutkan oleh dalil, tapi ternyata tidak demikian.
Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus atau langsung, dan ini disebut “dalil khusus”.Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang karena dianggap bid’ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid’ah secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid’ah itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir “dalil umum”.
Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang
dasar-dasar hukum agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum
di dalam suatu dalil, secara bahasa akan mencakup segala hal yang
terkandung oleh keumuman lafaz tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang
umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan untuk menunjukkan
satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz dalil yang
mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid’atin dhalalah
(setiap bid’ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis
adalah merupakan lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan
“perkara baru”, sehingga tidak sah bila kata bid’ah itu diarahkan kepada
perkara-perkara tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi
Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang
mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil
umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan.
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini
tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa
terutama mengenai bid’ah, tentunya karena pola pikir
“kasuistik” atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka
tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah dihiasi oleh
dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya
dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah
disebutkan secara khusus di dalam al-Qur’an atau hadis.
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid’ah yang
dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil
yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa
mereka tentang bid’ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama
akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali.
Anda bisa buktikan itu di dalam buku “Ensiklopedia Bid’ah” karya
Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini
baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan
dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada
tempatnya.
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul,
mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di
dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang
prinsip (ushul /pokok) dan yang tidak prinsip (furu’/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut,
umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar
di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski
berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses
berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan
untuk memudah-mudahkan syari’at atau menetapkan syari’at baru, tetapi
untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran
Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.
Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta’wil (penafsiran
terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan
tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh
pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan
syari’at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi,
segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur’an
& hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa
saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak
terdapat di dalam al-Qur’an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan
dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.
Di sinilah pangkalnya,
kenapa kaum Salafi & Wahabi selalu mempermasalahkan amalan atau
keyakinan orang lain, padahal amalan orang yang disalahkan itu hanyalah
masalah furu’ (cabang/tidak prinsip). Ini adalah akibat dari
pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau tekstual apa
adanya, sehingga semua urusan dan amalan “berbau agama” dipandang oleh
kaum Salafi & Wahabi sebagai perkara ushul (pokok/prinsip) yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau kufur.
Padahal, untuk menentukan hukum sesat, syirik, atau
kufur, mereka harus mendatangkan dalil-dalil yang pasti dan secara jelas
menyebut demikian. Nyatanya, mereka malah menggunakan dalil-dalil umum.
Dalil-dalil larangan bid’ah yang sangat diandalkan oleh kaum
Salafi & Wahabi itulah yang akan kita bahas secara tuntas dalam
buku/film dakwah ini, agar setiap orang dapat menilainya secara
obyektif. Dan bila diklasifikasikan, maka dalil-dalil tersebut dapat
kita kategorikan menjadi:
- Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (Khulafa’ur Rasyidin)
- Dalil perintah & larangan
- Dalil sesatnya setiap bid’ah (perkara baru yang diada-adakan di dalam agama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar