Senin, 24 Juni 2013

KEJANGGALAN GOLONGAN SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL

KEJANGGALAN GOLONGAN SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan para Sahabat Beliau (Khulafaur Rasyidun)
  • Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyin
  • Pengertian As-Sunnah pada Hadits yang Umum
2. DALIL PERINTAH DAN LARANGAN
3. Dalil Sesatnya setiap “bid’ah”
Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur’an 2. Sunnah 3. Ijma’  4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur’an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma’ (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur’an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam al-Qur’an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
Digunakannya  ijma’ dan qiyas (yang mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan hukum suatu perkara di dalam al-Qur’an dan Sunnah, tidak berarti menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan. Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar dan isyarat al-Qur’an atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan hidup manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang ditakdirkan berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur’an atau Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur’an bila harus memuat seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi Adam As. sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada masalah baru yang timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur’an atau Sunnah, Allah telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad dengan akalnya, tentunya dengan panduan prinsip-prinsip yang telah diberikan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt. berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup  manusia di dunia dan akhirat.
Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan akal seperti ijtihad atau ta’wil para ulama yang merupakan jalan bagi terwujudnya ijma’ dan qiyas tidak berlaku (meskipun sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya sendiri). Bagi mereka, tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh Rasulullah Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur’an) maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai perkara agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung menyebutkannya atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai “pendapat manusia” yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan dasar. Entah lupa atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam Syafi’I atau Imam Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap tidak lebih tahu tentang dalil dibandingkan diri mereka.
Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan pola pikir mereka “kasuistik”, artinya terlalu tekstual dalam memahami dalil sehingga apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur’an atau hadis secara khusus tentang suatu perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya tanpa dikurangi atau ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan secara khusus oleh dalil maka tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka juga mengutarakan dalil khusus untuk “tidak membolehkan” perkara yang yang tidak disebutkan oleh dalil, tapi ternyata tidak demikian.
Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus atau langsung, dan ini disebut “dalil khusus”.
Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang karena dianggap bid’ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid’ah secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid’ah itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir “dalil umum”.
Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang dasar-dasar hukum agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum di dalam suatu dalil, secara bahasa akan mencakup segala hal yang terkandung oleh keumuman lafaz tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan untuk menunjukkan satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz dalil yang mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis adalah merupakan lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan “perkara baru”, sehingga tidak sah bila kata bid’ah itu diarahkan kepada perkara-perkara tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan.
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid’ah, tentunya karena pola pikir “kasuistik” atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur’an atau hadis.
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid’ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku “Ensiklopedia Bid’ah” karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul /pokok) dan yang tidak prinsip (furu’/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari’at atau menetapkan syari’at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.
Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta’wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari’at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur’an & hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.

KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL

KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan para Sahabat Beliau (Khulafaur Rasyidun)
  • Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyin
  • Pengertian As-Sunnah pada Hadits yang Umum
2. DALIL PERINTAH DAN LARANGAN
3. Dalil Sesatnya setiap “bid’ah”
Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur’an 2. Sunnah 3. Ijma’  4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur’an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma’ (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur’an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam al-Qur’an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
Digunakannya  ijma’ dan qiyas (yang mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan hukum suatu perkara di dalam al-Qur’an dan Sunnah, tidak berarti menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan. Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar dan isyarat al-Qur’an atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan hidup manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang ditakdirkan berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur’an atau Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur’an bila harus memuat seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi Adam As. sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada masalah baru yang timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur’an atau Sunnah, Allah telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad dengan akalnya, tentunya dengan panduan prinsip-prinsip yang telah diberikan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt. berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup  manusia di dunia dan akhirat.
Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan akal seperti ijtihad atau ta’wil para ulama yang merupakan jalan bagi terwujudnya ijma’ dan qiyas tidak berlaku (meskipun sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya sendiri). Bagi mereka, tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh Rasulullah Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur’an) maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai perkara agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung menyebutkannya atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai “pendapat manusia” yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan dasar. Entah lupa atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam Syafi’I atau Imam Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap tidak lebih tahu tentang dalil dibandingkan diri mereka.
Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan pola pikir mereka “kasuistik”, artinya terlalu tekstual dalam memahami dalil sehingga apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur’an atau hadis secara khusus tentang suatu perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya tanpa dikurangi atau ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan secara khusus oleh dalil maka tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka juga mengutarakan dalil khusus untuk “tidak membolehkan” perkara yang yang tidak disebutkan oleh dalil, tapi ternyata tidak demikian.
Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus atau langsung, dan ini disebut “dalil khusus”.
Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang karena dianggap bid’ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid’ah secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid’ah itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir “dalil umum”.
Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang dasar-dasar hukum agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum di dalam suatu dalil, secara bahasa akan mencakup segala hal yang terkandung oleh keumuman lafaz tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan untuk menunjukkan satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz dalil yang mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis adalah merupakan lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan “perkara baru”, sehingga tidak sah bila kata bid’ah itu diarahkan kepada perkara-perkara tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan.
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid’ah, tentunya karena pola pikir “kasuistik” atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur’an atau hadis.
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid’ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku “Ensiklopedia Bid’ah” karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul /pokok) dan yang tidak prinsip (furu’/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari’at atau menetapkan syari’at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.
Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta’wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari’at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur’an & hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.

KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL

KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan para Sahabat Beliau (Khulafaur Rasyidun)
  • Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyin
  • Pengertian As-Sunnah pada Hadits yang Umum
2. DALIL PERINTAH DAN LARANGAN
3. Dalil Sesatnya setiap “bid’ah”
Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur’an 2. Sunnah 3. Ijma’  4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur’an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma’ (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur’an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam al-Qur’an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
Digunakannya  ijma’ dan qiyas (yang mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan hukum suatu perkara di dalam al-Qur’an dan Sunnah, tidak berarti menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan. Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar dan isyarat al-Qur’an atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan hidup manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang ditakdirkan berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur’an atau Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur’an bila harus memuat seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi Adam As. sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada masalah baru yang timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur’an atau Sunnah, Allah telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad dengan akalnya, tentunya dengan panduan prinsip-prinsip yang telah diberikan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt. berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup  manusia di dunia dan akhirat.
Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan akal seperti ijtihad atau ta’wil para ulama yang merupakan jalan bagi terwujudnya ijma’ dan qiyas tidak berlaku (meskipun sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya sendiri). Bagi mereka, tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh Rasulullah Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur’an) maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai perkara agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung menyebutkannya atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai “pendapat manusia” yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan dasar. Entah lupa atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam Syafi’I atau Imam Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap tidak lebih tahu tentang dalil dibandingkan diri mereka.
Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan pola pikir mereka “kasuistik”, artinya terlalu tekstual dalam memahami dalil sehingga apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur’an atau hadis secara khusus tentang suatu perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya tanpa dikurangi atau ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan secara khusus oleh dalil maka tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka juga mengutarakan dalil khusus untuk “tidak membolehkan” perkara yang yang tidak disebutkan oleh dalil, tapi ternyata tidak demikian.
Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus atau langsung, dan ini disebut “dalil khusus”.
Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang karena dianggap bid’ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid’ah secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid’ah itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir “dalil umum”.
Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang dasar-dasar hukum agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum di dalam suatu dalil, secara bahasa akan mencakup segala hal yang terkandung oleh keumuman lafaz tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan untuk menunjukkan satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz dalil yang mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis adalah merupakan lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan “perkara baru”, sehingga tidak sah bila kata bid’ah itu diarahkan kepada perkara-perkara tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan.
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid’ah, tentunya karena pola pikir “kasuistik” atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur’an atau hadis.
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid’ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku “Ensiklopedia Bid’ah” karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul /pokok) dan yang tidak prinsip (furu’/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari’at atau menetapkan syari’at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.
Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta’wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari’at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur’an & hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.
Di sinilah pangkalnya, kenapa kaum Salafi & Wahabi selalu mempermasalahkan amalan atau keyakinan orang lain, padahal amalan orang yang disalahkan itu hanyalah masalah furu’ (cabang/tidak prinsip). Ini adalah akibat dari pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau tekstual apa adanya, sehingga semua urusan dan amalan “berbau agama” dipandang oleh  kaum Salafi & Wahabi sebagai perkara ushul (pokok/prinsip) yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau kufur.
Padahal, untuk menentukan hukum sesat, syirik, atau kufur, mereka harus mendatangkan dalil-dalil yang pasti dan secara jelas menyebut demikian. Nyatanya, mereka malah menggunakan dalil-dalil umum. Dalil-dalil larangan bid’ah yang sangat diandalkan oleh kaum Salafi & Wahabi itulah yang akan kita bahas secara tuntas dalam buku/film dakwah ini, agar setiap orang dapat menilainya secara obyektif. Dan bila diklasifikasikan, maka dalil-dalil tersebut dapat kita kategorikan menjadi:
  • Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (Khulafa’ur Rasyidin)
  • Dalil perintah & larangan
  • Dalil sesatnya setiap bid’ah (perkara baru yang diada-adakan di dalam agama)
Tidak ada komentar:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar