Kamis, 27 Juni 2013

Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas

Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (2)
Tauhid yang diseru Nabi ini adalah arti perkataan Anda: Lailaha Illallah, karena Ilâh (tuhan) menurut mereka adalah apa yang mereka tuju baik dari para malaikat, nabi, wali, pohon, kuburan, atau jin. Mereka tidak bermaksud bahwa Ilâh itu adalah pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam semesta, karena mereka mengetahui bahwa ketiga-tiganya milik Allah saja sebagaimana telah saya sebutkan tadi. Akan tetapi Ilâh/tuhan yang dimaksudkan oleh mereka adalah sosok yang oleh kaum Musyrikin di masa kami disebut dengan kata Sayyid.
_____________________
Catatan 5:
Dalam paragraf ini terdapat pengafiran yang terang-terangan terhadap kaum Muslimin yang hidup di masa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb. Sebab istilah Sayyid yang secara harfiyah beratikan tuan telah digunakan kaum Muslimin di sepanjang sejarah Islam sebagai sebutan/gelar bagi seorang dari keturunan/Ahlulbait Nabi saw. dan tidak sedikit umum kaum Muslimin memakainya untuk seorang shaleh yang diyakini akan keberkahanya, ia memberikan doa untuk keberkahan, kesembuhan atau keselamatan dll. Dan menggunakan kata Sayyid untuk arti di atas tidak sediktipun mengandung kemusyrikan atau kekafiran, bahkan tidak makruh apalagi haram hukumnya!
Hadis yang menyebut adanya larangan menggunakan kata tersebut untuk selain Allah SWT. masih diperdebatkan kesahihannya. Bahkan terbutki bahwa Khalifah Umar bin al Khaththab berkata:
أبوبكر سيِّدُنَا أعتَقَ بِلاَلا سيِّدَنَا
“Abu Bakar Sayyid kami telah memerdekakan sayyid kami Bilal.”
Lebih dari itu Al Qur’an juga telah menggunakan kata tersebut untuk seorang Rasul utusan-Nya. Allah SWT berfriman:
فَنادَتْهُ الْمَلائِكَةُ وَ هُوَ قائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَ سَيِّداً وَ حَصُوراً وَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحينَ
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan salat di mihrab (katanya): ”Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, dan menjadi sayyidan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang- orang saleh.” (QS. Âlu ‘Imrân [3]; 39)
Ketika menafsirkan kata سَيِّداً dalam ayat di atas, Ibnu Katsir mengutip berbagai komentar para mufassir Salaf yang semuanya mengarah kepada makna adanya kemulian dan keistimewaan di sisi Allah SWT.
Mujahid dan lainnya berkata, “Sayyidan maknanya karîm, mulia di sisi Allah –Azza wa Jalla-” [1]
Dan dalam sepenjang penggunaannya oleh kaum Muslimin, kata Sayyid tidak pernah dipergunakan untuk makna yang menyalai kemurnian Tauhid dan penghambaan. Kata itu dipergunakan kaum Muslimin untuk seseorang yang diyakini memiliki kedudukan dan keistimewaan di sisi Allah SWT. dengannya ia diisitimewakan dari orang lain dan karena kedudukan dan keistimewaannya itu maka permohonannya untuk seorang yang menjadikannya perantara dalam pengabulan doa dan permohonan diperkenankan Allah SWT. Jadi apa yang diyakin kaum Muslimin adalah apa yang telah ditetapka Allah SWT.
Adapun kaum Wahhâbiyah, mereka menafikan kedudukan yang ditetapkan Allah SWT untuk hamba-hamba pilihan-Nya dan menisbahkan kepada kaum Muslimin sesuatu yang tidak mereka yakini, dan kemudian menyebut kaum Muslimin dengan sebutan kaum Musyrikin. Apa yang mereka lakukan mirip dengan apa yang dilakukan kaum kafir yang menentang Allah dan Rasul-Nya kemudian menisbahkan kepada para Rasul dan pengikut setia mereka apa-apa yang tidak mereka yakini dan mereka perbuat!
Dan tidak ada larangan dalam penggunaan kata sayyid seperti juga kata rab untuk selain Allah SWT selama ia dipergunakan dalam arti yang tidak menyalai kemurnian penghambaan dan Tauhid. Dan tentunya perlu diyakini bahwa tidak seorang pun dari kaum Muslimin yang mengunakannya untuk makna yang menyalai kemurnian penghambaan.
Tidak Semua Kaum Musyrik Mengakui Allah Sebagai Khaliq.
Kemudian adalah tidak berdasar ucapan Syeikh bahwa kaum Musyrikun di zaman Nabi saw. seluruhnya telah mengatahui bahwa “Allah-lah Dzat Maha Pencipta, Maha Pemberi rizki dan Maha pengatur alam semesta” sebab yang mengetahuinya hanya sebagian dari mereka saja, sementara sebagian lainnya adalah kaum dahriyyûn, yang tidak percaya akan ketiga prinsip itu dan tidak mempercayai adanya hari kebangkitan.
Allah SWT berfirman menceritakan mereka:
وَ قالُوا ما هِيَ إِلاَّ حَياتُنَا الدُّنْيا نَمُوتُ وَ نَحْيا وَ ما يُهْلِكُنا إِلاَّ الدَّهْرُ وَ ما لَهُمْ بِذلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ.
“Dan mereka berkata:” Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali- kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga- duga saja.”(QS.al Jâtsiyah [45] :24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar